|
Wednesday 2024-10-16 2:09 AM |
Statistics |
Total online: 1 Guests: 1 Users: 0 |
|
|
Welcome Guest | RSS
Main | Registration | Login |
My site |
Analisa Oleh Rizki Firmansyah
Tak cukup jelas bagaimana sekuleris (barat) memandang hukum Islam,
tetapi nampaknya ide-ide hukum yang melangit bagi mereka harus segera
diturunkan membumi memaslahatkan umat. Hal ini mengandung pengertian
jika kodifikasi hukum semestinya berangkat dari gejala dan fenomena
sosial masyarakat sekaligus dengan kekiniannya. Pengajaran hukum dan
penerapannya sesegera mungkin harus dirubah ketika waktu berubah.
Singkatnya, legalisasi hukum haruslah menyesuaiakan tempat.
Namun, penerapan syariah di barat kemungkinan tidak menemukan
kendala dalam masyarakatnya. Hukum syariah bakal menemukan masalah
manakala pengertian syariah sebagai suatu hukum dan ide sekularis
dipertemukan. Barat merasa belum pas atau mungkin tak cukup nyali
menerapkan hukum syariat perspektif timur. Jika ide-ide syariat yang
banyak berpulang pada konsep abad pertengahan diterapkan disinyalir
menimbulkan ketidaksesuaian dan merugikan sebagain pihak. Dikarenkan
prinsip egaliter masih menjadi barang aneh bagi sosial masyarakatnya.
Muslimin barat merasa—yang memang banyak dipengaruhi
sekularisme—akan terugikan dengan mengadopsi model hukum Islam abad
pertengahan. Hukum abad pencarian jati diri ini akan menarik mereka
mundur mengikuti alur hidup masa lalu. Barat dengan kondisinya
menginginkan kodifikasi hukum baru yang sesuai dengan karakter mereka.
Mereka mengambil contoh sejarah hukum Islam yang selalu tidak memiliki
bentuk yang satu. Hukum Islam telah terkotakkan ke dalam pengertian
masing-masing kelompok muslimin. Maka kemudian, kalangan muslimin
progresif barat merasa memiliki hak menentukan model hukumnya sendiri.
Melihat kendala ini masyarakat muslimn barat memulai pergerakan
syariah yang lebih progresif dengan persfekif baru, gender. Pergerakan
ini juga dikarenakan konsep syariah "lama" yang tumbuh subur di negara
Arab dan Islam banyak ditentang. Di India misalkan, perempuan muslim
banyak yang menentang penceraian lisan melalui satu tarikan nafas.
Mereka juga menentang nikah kontrak yang sering dilakukan pria sebagai
kesenangan mereka. Begitu juga di Iran hukum Islam tidak memiliki
pengaruh sama sekali dalam hukum tradisional Itsna' 'Asyariyah. Mereka
yang menentang hegemoni ulama hanya akan mendapatkan ketidakadilan.
Penerapan hukum Islam di Saudi mungkin lebih parah lagi.
Kesenjangan gender di negara bermazhab Hambali ini lebih kentara.
Perempuan Saudi dilarang berada dalam wilayah bisnis; mereka juga
terlarang mengemudi kendaraan; bahkan ketika pemilihan pun mereka sama
sekali tak memili hak suara. Walaupun pemilihan yang dikhususkan
berdasar daerah di Saudi telah dikenalkan sejak lama namun perempuan
tetap tak memiliki haknya, padahal ide ini datang dari kaum perempuan.
Meski Islam membolehkan prinsip ijtihad dalam ajarannya
dipraktekkan, tetapi usaha-usaha melenturkan syariah dengan cara ini
kerap berisi penjegalan dan konfrontasi. Seorang mujaddid semisal
Muhammad Abduh giat menyerukan perubahan dalam hukum Islam di akhir
abad 19 dan awal abad 20, tetapi sayang perubahan itu tak kunjung
terlihat. Padahal ketika itu kedudukannya sebagai mufti.
Jehan Sadat, istri Anwar Sadat, mempergunakan pengaruhnya
mengenalkan hukum yang ia ambil dari ayat Al-Qur'an. Ia menyatakan,
pernikahan hanya akan tercatat manakala suami membeli rumah atas nama
istrinya. Tetapi ide ini kemudian dihapus tepat setelah eksekusi
suaminya. Hosni Mubarak, presiden Mesir sekarang, juga menghadapi
oposisi kalangan ulama Al-Azhar sewaktu ia mengenalkan tagihan akan
kuasa perempuan atas hak mereka dalam Kholu'. (Asgar Ali Enginer)
Negara mayoritas muslim yang telah sekian lama mengenal syariat
semestinya dapat dengan mudah mengatur aturan hukumnya menjadi lebih
sederhana, tetapi setiap usaha yang mengindikasikan ke arahnya tak
jarang selalu menemui perlawanan keras. Apalagi jika usaha perubahan
syariat ini terjadi di negara-negara sekuler, maka tingkat
kesulitannyapun akan semakain alot.
Dasar-dasar pembentukan syariat kadangkala sering tak bisa lepas
dari laku sejarah pada masanya, hattâ Al-Qur'an sebagai kitab suci
berisi syariat yang sebenarnya bukanlah baru. Dan realita sejarah
inilah yang coba ditawarkan barat untuk berimprovisasi. Namun,
kenyataan akan epistemologi pembentukan hukum yang berdasar atas dasar
budaya manusia ini kerap diabaikan. Para ulama selalu beranggapan jika
formulasi syariah yang ada hari ini sebagai kumpulan yang tak bisa
disederhanakan atau kadangkala diposisikan sederajat dengan Al-Qur'an.
Tinjauan sekuleris melihat syariat tentunya berangkat dari gagasan
mereka akan sekularisme. Sekularisme di barat telah menjadi kebudayaan
dan kebiasaan masyarakatnya yang hampir sulit dibinasakan. Sekularisme
yang berarti mendunia dan memanusia telah merembes dalam tata nilai
sosialnya. Kendati penentuan kebijakan hukum tak hanya berpijak pada
masa dan maslahat semata. Namun, masyarakat sekuler sudah kadung
mematok dua hal tersebut sebagai titik tolak perubahan.
Menjadikan hukum Islam murni sekularisme mungkin bukan keputusan
baik teapi mengikuti konsep konservatif pun bukanlah jalan terakhir.
Islam pada kenyataannya telah menyebar jauh dari jangkaun suku Arab.
Dan banyak dari mereka tidak bersandar pada kodifikasi hukum yang sama.
Ini menandakan jika pengertian Islam tidak lagi milik sektoral suatu
kaum. Menerapkan hukum Islam mungkin saja terlalu sulit di masa
kontemporer tetapi ia bisa disederhanakan, penyederhanaan yang tak
lantas meniadakan sisi "ilahiyah-nya" tetapi juga mampu berdamai dengan
kekinian zamannya.
|
Category: Analisa | Added by: fajar (2010-01-28)
|
Views: 1243
| Rating: 0.0/0 |
|
|