Ada keterkaitan
yang erat antara Student Government System (SGS) PPMI yang
dideklarasikan lima tahun silam (2003) ketika Musyawarah Besar (mubes) PPMI,
dengan sistem pengelolaan organisasi kekeluargaan. Secara sederhana, menurut
para founding father-nya SGS dimaksudkan untuk menata dinamika mahasiswa
kita di sini (Masisir) yang sudah terklasifikasikan ke dalam berbagai
organisasi. Organisasi
kekeluargaan adalah salah satunya.
Menjadi rahasia
kita bersama bahwa organisasi kekeluargaan merupakan wadah perkumpulan
mahasiswa-mahasiswi
Indonesia di Mesir yang paling representatif. Tidak seperti organisasi senat, almamater, bahkan afiliatif
sekalipun, organisasi kekeluargaan adalah basis massa dan sosio kultur
terbesar. Dilengkapi ikatan emosional yang kuat dengan pemerintah daerah masing-masing
di Tanah Air, juga ditambah
dengan kekayaan inventaris berupa rumah daerah di sini. Oleh karenanya,
organisasi kekeluargaan bisa dikatakan sebagai organisasi paling potensial.
Terutama dalam kaitannya dengan potensi pemberdayaan SDM (Sumber Daya
Mahasiswa).
Semakin besar
sebuah organisasi, semakin besar pula tenaga dan perhatian yang diperlukan
untuk mengelolanya. Secara kuantitas, jumlah anggota KPMJB hingga hari ini
mencapai angka kurang lebih 600 orang yang terdiri dari berbagai latar belakang
(Bikodastika KPMJB 2007-2008). Ada pelajar (siswa/i dan mahasiswa/i), ada juga
pegawai dan tenaga ahli. Ada yang berdomisili di Cairo ada yang di muhâfazhah. Ada yang tinggal
di Nasr City, di Dokki, di Tagamu', di Qatameyya, di asrama dan lain sebagainya.
Melihat kondisi
ini, maka sentralisasi
pengelolaan di tangan Dewan Pengurus (DP),
sebagaimana yang selama ini berlangsung, menginvestasikan kekurangefektifan.
Mari kita lirik kembali momen Siliwangi Cup kemarin sebagai sampel. Pengelolaan
anggota (masyarakat) dalam Siliwangi Cup akan menjadi persoalan yang sulit
apabila mobilisasi massa (penonton, pemain, supporter) sampai masalah
konsumsi hanya ditangani oleh panitia saja.
Lain halnya ketika hal tersebut dikelola oleh para koordinator daerah, yang
kita namakan bupati.
Arus komunikasi dan informasi menjadi berlangsung sedemikian mudah dan efektif.
Perhatian terhadap masyarakat hingga tataran grass root pun relatif
lebih merata. Meski ternyata, bupati
yang kita maksudkan di sini masih berlangsung secara kultural, non-formal bahkan
inkonstitusional.
Pengalaman
empirik tersebut membuktikan bahwa KPMJB sudah membutuhkan penanganan organisatoris
secara lebih, baik itu pada skala administratif maupun praktis. Jalan ke arah
sana setidaknya bisa dilakukan dengan dua hal.
Pertama,
pembakuan lembaga kabupaten di dalam tubuh KPMJB secara konstitusional.
Pembakuan ini tentu saja harus melalui pengesahan yang diatur undang-undang,
dalam hal ini AD/ART atau
aturan lainnya sehingga peran fungsional bupati (lembaga
kabupaten) ini merata
di setiap daerah dalam KPMJB. Apa yang telah berjalan di antara baraya dari
Cirebon dengan Forum Silaturahmi Gunung Djati (Fosmagati)-nya, bisa menjadi prototip bagi yang lain.
Lebih jauh, lembaga kabupaten
yang bisa saja dilengkapi kemudian dengan staf sederhana, memiliki garis
koordinasi bahkan hubungan instruksional dari gubernur KPMJB secara langsung.
Mengulas sedikit,
Fosmagati hampir bisa dibilang sebagai proyek percontohan paling baik bagi masyarakat
KPMJB. Betapa tidak, di sana sudah terdapat mailing list dan kegiatan rutinan
yang berorientasikan peningkatan kualitas anggotanya. Hal serupa juga mulai
terlihat di Sawarga (Sauyunan Warga Garut) yang sudah memiliki mailing list sendiri dan
baru memiliki kegiatan silaturahmi rutinan yang intensitasnya masih sederhana.
Dampak positif dari kondisi seperti ini adalah lebih kuatnya akses kemampuan
KPMJB dalam merangkul dan membina anggota masyarakatnya hingga level grass root.
Pertanyaan yang
mungkin akan muncul adalah bagaimana dengan daerah-daerah yang selama ini
"dikoalisikan"(?!) Kita bisa berkaca pada sejarah Priatim (Priangan
Timur) dengan Garut dalam tubuh KPMJB. Sebelum terpisah seperti sekarang,
beberapa dekade ke belakang Garut merupakan bagian dari Priatim. Setelah
memiliki quota
anggota yang cukup, Garut akhirnya "berdiri sendiri". Sambil menunggu
kondisi untuk mampu berdiri sendiri, membentuk lembaga kabupaten bukanlah
perkara mustahil. Hal ini setidaknya bisa menjadi alternatif jalan bagi
beberapa daerah lain dalam tubuh KPMJB yang hingga saat ini masih dalam
lingkaran "koalisi".
Kedua, pemberlakuan
Pemilihan Umum (pemilu)
Daerah dalam proses Pemilihan Gubernur KPMJB (pilkada). Kehadiran lembaga kabupaten bisa kita pandang sebagai langkah awal (semi)
desentralisasi pengelolaan anggota KPMJB. Ketika kabupaten sebagai sebuah lembaga
telah berdiri, maka perlu diberikan porsi dan kesempatan bereksplorasi sehingga
eksistensi dan vitalitasnya tetap terjaga. Pilkada melalui Pemilu Daerah setidaknya
bisa mensiasati itu. Karena dalam praktiknya,
Pemilu Daerah memungkinkan utusan terbaik dari setiap lembaga kabupaten untuk
menjadi bakal calon gubernur.
Pengutusan ini bisa dilakukan secara langsung ataupun koalisi antar lembaga kabupaten. Cara ini menjadi salah satu trik untuk menjaga
efektifitas fungsi lembaga kabupaten
yang sebenarnya menyimpan potensi besar.
Terakhir, poin
terpenting dalam coretan ini adalah bahwa rupanya KPMJB sudah sedemikan besar.
Perlu pengelolaan yang lebih intens, serius, transparan dan terencana berdasarkan
asas kekeluargaan demi tercapainya Sumber Daya Manusia (SDM) Jawa Barat yang unggul
dan kompetitif di masa depan. Coretan ini hanyalah pra-wacana atau dalam
istilah sederhananya sebagai "tawaran”. Namun, tidak
setiap tawaran harus ditolak kan?! Wallâhu' a'lam bi
ash-shawâb.
*) Dari koleksi tulisan lama
|