Saat berpuasa, kita senantiasa dituntut untuk tetap
bekerja. Bekerja keras, bagi orang beriman, bukanlah suatu tuntutan karena
adanya pengawasan dari atasan. Orang beriman akan senantiasa merasa diawasi
langsung oleh Allah Swt. (murâqabatullâh). Puasa akan mendidik orang
tetap bekerja meski tidak diawasi manusia. Perwujudan kerja keras ini dapat
juga dilihat dari semangat menjalankan ibadah sunnah pada bulan Ramadan.
Seseorang yang jarang shalat sekalipun akan berusaha untuk menunaikan shalat
secara lengkap dan tepat waktu, bahkan shalat Tarawih di saat datangnya Ramadan.
Bayangkan, hanya lebih cepat sedetik saja, orang yang
berpuasa tidak mau untuk berbuka puasa, dan ini berlaku untuk semua orang
termasuk anak-anak kita. Belajar berdisiplin bukan berarti menyiksa diri
sendiri, namun belajar sabar dan bahagia.
Hikmah Puasa
Ramadan adalah bulan disyariatkan puasa dan merupakan
salah satu rukun Islam. Sebagaimana firman Allah Swt., "Hai orang-orang
yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah [2]: 183).
Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi
Muhammad Saw. menerima wahyu puasa. Bahkan dalam sejarah agama-agama besar,
puasa sudah tidak asing lagi dalam tatanan syariat mereka.
Universalitas puasa bisa dimengerti karena esensi dari
puasa itu sendiri bukan "mengerjakan" melainkan "menahan
diri", yakni menahan diri dari makan dan minum, tidak melakukan
seksualitas di siang hari dan menghindari sikap hewani yang merusak, serta dianjurkan
ibadah pada malam harinya (qiyâmullail) karena sesungguhnya bulan
Ramadan adalah bulan yang mulia, sumber segala rahmat dan kebaikan.
Allah memberi keberkahan dan maghfirah; para malaikat
turun untuk ikut memanjatkan doa dan pujian agar manusia memperoleh ampunan; semua
pintu kebaikan dibuka lebar-lebar serta semua setan "dibelenggu".
Rasulullah mengkhususkan bulan ini sebagai bulan untuk
beribadah melebihi bulan-bulan lainnya. Demikian juga para sahabat, mereka
saling bergegas dalam amal kebaikan semata-mata mengharap ridha Allah Swt.
Hikmah Ramadan
Selain posisi istimewa di sisi Allah Swt. yang
diperoleh seorang mukmin yang berpuasa, hikmah dari puasa sungguh amatlah besar;
baik hikmah rohani maupun jasmani; baik terhadap diri pribadi maupun masyarakat
luas.
Ramadan juga sebagai syahrul 'ibâdah (bulan
ibadah) di mana terdapat nilai ibadah dan semangat beribadah yang tinggi.
Selain itu juga sebagai "syahrul fath" (bulan kemenangan)
karena umat Islam memperoleh kemenangan dalam "perang kecil", perang
Badar. Ramadan bisa juga dikatakan sebagai "syahrul hudâ"
(bulan petunjuk) karena pada bulan Ramadanlah turun petunjuk kehidupan, Al-Qur'an,
untuk pertama kalinya.
Selain itu bulan Ramadan juga disebut sebagai "syahrul
ghufrân" (bulan penuh ampunan). Pada bulan ini, dimudahkan pintu pengampunan
dan pembebasan dari api neraka. Sebagai "syahrus salâm" (bulan
keselamatan), bulan Ramadan adalah bulan yang mengandung nilai-nilai edukatif
yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat
manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai "syahrul jihâd"
(bulan perjuangan), di mana pada bulan ini manusia dihadapkan pada perjuangan
yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain
menahan diri dari "ritual" makan dan minum sebagai kebutuhan primer,
sejak fajar sampai terbenam matahari. Jika tiba waktu berbuka, mereka dianjurkan
untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan, bahkan dianjurkan
untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan
jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya
penyakit jiwa? Begitulah kira-kira apa yang dikatakan para sufi.
Kalau penyakit "rakus dan tamak" menimpa
seseorang, akibat dan bahayanya bukan hanya terbatas pada lingkungan mikro, tapi
lambat laun akan merambat dalam lingkungan makro, kehidupan berbangsa. Sehingga
akan menimbulkan semangat kapitalisme yang—kemudian—bersifat ekspansif, yaitu
mengeksploitasi hak milik orang lain akibat sifat serakah tersebut. Benarlah
apa yang disinyalir oleh Imam Ghazali dalam "Ihyâ 'Ulumuddîn"-nya
bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.
Dengan melaksanakan puasa, kita dapat mengadaptasi diri
kita dengan mereka yang berekonomi lemah yang sering merasakan haus dan lapar,
sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan ketajaman sosial serta menjadi
pengalaman rohani tersendiri. Mungkinkah kasih sayang tidak tumbuh ketika
pemandangan itu terjadi di depan mata kita?
Dalam batasan yang paling rendah (setidak-tidaknya)
kehausan dan kelaparan akan berpengaruh pada kepekaan sosial, mengingatkan kita
pada kaum fakir miskin sehingga termanifestasi dengan memperbanyak sedekah
sebagai tindakan konkret rasa solidaritas social. Imbasnya akan menjembatani
antara the have dan the have not, di mana pada titik akhirnya
akan tercipta sumber daya manusia yang mempunyai etika dan kepekaan sosial yang
tinggi.
Semoga kita dapat menjadikan Ramadan sebagai wadah
penggemblengan mental sehingga tercipta kontrol diri yang baik yang akan meluas
dampaknya ke masyarakat. Sehingga puasa bukan hanya memperoleh lapar dan haus
saja, sebagaimana beberapa golongan yang disinyalir Nabi Saw: "Berapa
banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya
kecuali hanya lapar dan haus." Tapi kita berharap dengan puasa, disamping
hikmah yang dikandungya, yang paling penting adalah semua semata-mata merupakan
bentuk pengabdian kita kepada Allah Swt. Wallâhu a'lam bis shawâb.
|