Aku berdiri tepat di tengah persimpangan, lebih tepatnya di tengah taman
yang berbentuk lingkaran, di depan sebuah miniatur bumi yang telah membatu.
Miniatur bumi itu disangga oleh empat tangan yang mewakili empat arah dan
bangsa-bangsa di dunia. Replika seperti ini cukup untuk menggambarkan persatuan
seluruh umat manusia. Meskipun sebetulnya sangat ironi, empat tangan itu
disangga oleh replika yang melingkar dan tergambar jelas di atasnya rentetan
peperangan yang dipahat dalam bentuk relief. Rupanya perdamaian dan persatuan
selama ini harus ditopang dengan peperangan dan genosida di atas muka bumi ataukah hanya sekedar menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang telah dilalui oleh umat manusia?
Aku ingin mencari jawaban, kenapa perdamaian harus dicapai dengan
peperangan? Umat manusia sudah muak dengan perang. Kita sudah bosan dengan
jargon-jargon rasisme, liberalisme dan nasionalisme yang berujung pembantaian
satu sama lain. Kenapa harus ada perang dunia? Kenapa harus ada genosida yang
berkepanjangan? Kenapa perdamaian tidak dicapai dengan saling asah, saling asih
dan saling asuh?
Taman yang indah ini, ternyata di dalamnya menyimpan kengerian-kengerian
sejarah. Aku tatap kursi-kursi yang tertata rapi, melingkar dan membelakangi
relief perang dan pembantaian. Aku coba untuk duduk dan melihat keindahan Persimpangan
Jalan. Mataku menangkap keindahan, tapi hatiku perih karena di belakangku zaman
kegelapan selalu terulang. Ku hirup nafas panjang dan berdiri kembali. Aku harus
pergi dari tempat ini. Tapi kemana aku harus pergi? Jalan ke arah barat
terlihat lengang. Akan ku telusuri jalan itu.
Sepanjang jalan aku saksikan relief yang hampir serupa. Relief-relief itu seolah
bertutur tentang sebuah kebudayaan yang sangat maju. Teknologi tinggi selalu
diagungkan dan dapat mempermudah seluruh sendi kehidupan. Tapi lagi-lagi aku
dapatkan perang dan perbudakan pada zaman Romawi, pembantaian NAZI, kolonialisme orang-orang barat dan perang salib. Aku saksikan puing-puing WTC yang berserakan
dengan darah-darah yang terus mengalir di ujung missile dan
pesawat-pesawat perang super automatic.
Ada seorang tua yang sedang bermain dengan mesin pesawat layaknya anak
kecil umur tujuh tahunan. Tawanya nyaring tapi matanya itu kenapa…. ya Tuhan..! Ia menangis. Matanya yang sembab itu tak
bisa mengubah wajahnya yang ingin ceria.
“Bapak, kenapa Anda tertawa tapi juga menangis?”
“Anak muda, aku adalah teknokrat yang telah menciptakan teknologi-teknologi
ini. Aku bahkan telah menerbangkan orang ke bulan dan membuat stasiun ruang
angkasa,” katanya masih terus
menangis.
“Lalu kenapa Anda
bersedih?”
“Karena aku juga yang telah membuat umat manusia terus ingin berperang dan
bahkan tak lama lagi akan ada perang nuklir.”
“Oh Bapak, adakah jalan perdamaian itu?”
“Di sini tidak ada, kalau kau ingin perdamaian cobalah untuk mencari ujung
jalan sana!” tangannya menunjuk ke ujung barat. Jalan itu berkabut, aku tak
dapat melihat ujungnya. Hanya sebuah tulisan “The Beginning of The End”. Aku tak dapat menemukan ujung jalan itu. Ini
awal dari akhir, lalu di mana akhirnya?
Aku berlari ke tengah persimpangan dan mencoba untuk mencari ke arah utara.
Relief-relief itu menunjukan kehancuran Uni Soviet setelah perang
dingin. Aku terus mencari ujung jalan itu hingga kabut berubah menjadi salju.
Aku letih dan tetap tidak mendapatkan ujung jalan itu. Hanya ada tulisan di
atas tembok samping jalan “The Beginning of The End”.
Naluriku berkata untuk kembali ke pusat persimpangan dan mencari ujung
jalan ke arah timur. Aku dapatkan relief-relief itu menggambarkan kemajuan yang
luar biasa. Walaupun selalu dilalui pertumpahan darah semenjak zaman ke-Shogun-an hingga bom atom dijatuhkan di
atas Nagasaki dan Hiroshima.
Aku lihat perempuan muda menangis sedu-sedan dengan belati di ujung tangannya.
Hatiku berdebar. Jangan sampai perempuan muda itu bunuh
diri. Aku tahu di tempat ini banyak terjadi peristiwa bunuh diri.
“Apa yang sedang Nona
lakukan?”
“Jangan mendekat! Biarkan aku mengakhiri kepiluan ini,” air matanya terus
mengalir, “Sudah lama aku mencari akhir dari semua ini, tapi yang aku dapat
kehampaan dan kesedihan yang tak ada ujungnya.” Suaranya tercekat seiring
dengan belati electrical automatic yang telah merobek urat lehernya.
Oh Tuhan, kenapa ini selalu terjadi? Aku melihat ujung jalan timur yang juga
selalu berkabut dan gelap di ujungnya. Di tembok samping jalan itu juga
bertuliskan “The Beggining of The End”. Pikirku langsung tertuju pada satu jalan yang belum aku lalui, yaitu
jalan selatan. Aku lekas pergi dan berlari.
Sepanjang jalan selatan aku hanya melihat kesunyian. Angin dingin dan berkabut
merasuk ke sumsumku. Antartika telah menjadi kota yang sepi. Salju yang semula
putih telah berubah menjadi merah kehitaman oleh darah yang mengental. Relief
itu telah menunjukkan kemajuan
yang luar biasa. Kereta listrik
bawah samudera adalah kebanggaan kota ini. Tapi sekarang sepi, hanya ada seorang tua yang duduk di bawah tulisan
“The Beginning of The End” terpahat di samping jalan yang
juga berkabut dan gelap di ujungnya.
“Bapak, apakah Anda
penduduk jalan selatan?”
“Bukan, aku sebetulnya penduduk jalan tenggara yang mencari suaka.”
“Apa ada jalan tenggara itu?”
“Semula ada tapi PBB telah menghapus dan mengambil alih seluruh kota
tenggara dan menyerahkannya kepada para pengusaha raksasa dunia.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Sepuluh tahun yang lalu, penduduk tenggara perang saudara besar-besaran memperebutkan
budaya dan blok-blok yang penuh minyak,” raut mukanya tanpa ekspresi pertanda
dia telah mati rasa, “Mereka begitu bodoh karena sesungguhnya yang diuntungkan
dari semua itu bukan rakyat melainkan perusahaan-perusahaan multi-nasional.”
Setelah mendengar semuanya aku kembali ke pusat persimpangan dan merenung
di atas kursi yang melingkari miniatur bumi. Semakin aku jalan ke ujung, keadaan
umat manusia semakin berkabut dan gelap. Mungkinkah persimpangan jalan ini
ujung dari semunya? Ataukah pusat dari semua peristiwa? Di
sinilah tempat berkumpulnya
penguasa dan pengusaha di seluruh dunia. Merekalah yang membuat seluruh
kebijakan strategis, yang menyatakan perang atau tidak. Sepertinya, merekalah
pangkal dari semua masalah.
R. B. “AKAR”, 01-09-09
|