Akhirnya lelaki anshâr tadi menemui Rasulullah Saw. dan memberitahukan apa yang dikatakan Asy-Syifa’ kepadanya. Mendengar cerita lelaki tersebut, Rasulullah memanggil Asy-Syifa’ dan berkata, "Coba kamu peragakan kepadaku
bagaimana kamu mengobati!” Asy-Syifa’
melaksanakan perintah Rasulullah Saw. Setelah itu Rasulullah Saw. bersabda, "Sekarang tolong
obati laki-laki ini! Setelah itu ajarkanlah caranya kepada Hafshah seperti
halnya kamu pernah mengajarinya cara-cara menulis." (HR. Hakim)
Semoga Allah
memberkahi Asy-Syifa’..
Nah, sobat-sobati
pembaca Manggala yang berbahagia, petikan kisah tadi mengajarkan kepada kita bahwa
Rasulullah Saw. sangat menghargai dan mendukung para muslimah untuk memiliki
kapabilitas yang tinggi, dalam hal ini berketerampilan. Bukan sekadar asal terampil, tapi terampil yang membawa hasil
dan manfaat untuk sekitarnya. Semakin banyak kita mempunyai keterampilan,
semakin banyak manfaat yang bisa kita berikan dan dedikasikan kepada
orang-orang di sekitar kita. Dari sinilah kita bisa sedikit demi sedikit
menjadi orang yang dikatakan Rasulullah Saw. ‘khairun nâs anfa'uhum lin nâs’, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang
lainnya.
Keterampilan mahasiswi
tidak hanya terbatas pada "memasak dan
menjahit” saja. Kita harus mulai
memperlebar zona "keputrian" kita, mengingat tuntutan seorang muslimah
pun sama beratnya dengan tuntutan laki-laki, bahkan lebih. Sebagai seorang ‘azhari’
tentunya kita perlu berbekal "keterampilan” berpandangan dan berpola hidup
Islam yang lurus, dekat dengan Al-Qur'an dan terbiasa dengan bahasa Arab dan
ilmu-ilmu syariah. Ini tuntutan utama yang diemban setiap azhari, tidak memandang laki-laki ataupun perempuan.
Bahkan jauh dari itu "keterampilan" spesialisasi kefakultasan pun
selayaknya diasah dari sekarang, tidak
bisa tawar-menawar lagi. Saya yakin
sepulangnya ke Tanah Air kelak, sobat-sobati pembaca Manggala yang
budiman pasti akan diminta oleh masyarakat untuk mengisi majelis pengajian atau
setidaknya ditanyai tentang Islam. Tidak memandang
apakah selama di Kairo rajin kuliah atau tidak, aktif kajian atau tidak, suka berdiskusi atau tidak.
Dan satu hal lagi,
jangan terlalu mengandalkan suami! Pernah saya
mendengar, ada seorang mahasiswi yang berujar, "Ah, saya akan
mencari suami yang ustad-ustad saja, supaya kalau pulang nanti jika ada yang
bertanya tentang syariah suami saya yang akan menjawabnya." Wah, itu sih
sama saja mematikan semangat berilmu sejak dini, hehehe. Saya teringat 8
bulan lalu ada Pelatihan Tajhîz Mayyit yang
diselenggarakan salah satu keputrian Senat Mahasiswa di Kairo. Pada saat itu para
peserta dilatih untuk bisa mengurus jenazah perempuan, karena memang jenazah
perempuan yang mengurusnya ya harus perempuan. Nah, coba bayangkan
ketika kita pulang ke kampung halaman, apakah akan mengandalkan suami dalam hal
ini? Kalau diantara kita ada
yang masih bermalas-malasan, hati-hatilah jangan sampai menyesal di kemudian
hari. Karena semakin cepat kita sadar untuk "berketerampilan azhari" semakin banyak kesempatan berbekal yang kita miliki. Mulailah dari sekarang untuk banyak membaca dan belajar.
Keterampilan
selanjutnya yang perlu dimiliki adalah keterampilan keputrian. Keterampilan
jenis inilah yang seringkali menghegemoni hampir setiap agenda keputrian
kekeluargaan. Keterampilan jenis ini berkisar pada keterampilan berumah tangga,
dari mulai mengurusi dapur sampai men-tarbiyah anak-anak. Ini tentunya sangat asasi untuk diasah dan
dikembangkan, karena bagaimana pun keterampilan jenis ini akan banyak membantu kelak. Mampirlah sesekali ke forum-forum keputrian
kekeluargaan, atau sering-seringlah bergaul dengan para ummahât untuk banyak menggali pengalaman dari mereka.
Keterampilan semacam ini jika tidak diasah akan membawa penyesalan di kemudian
hari. Sebagai mahasiswi yang
sudah belajar berislam, tentunya
kita
harus punya nilai plus dalam hal ini. Tidak hanya keterampilan berumah
tangga, tapi lebih kepada keterampilan berumah tangga ala Al-Qur'an dan As-Sunnah. Nah, hal ini akan kembali lagi
kepada kadar kita dalam memahami ilmu-ilmu Islam. Jadi, Islam yang kita
pelajari tidak hanya sekadar maklumat, tapi juga kita perlu mengusahakan aplikasinya
dalam seluruh lini kehidupan, termasuk dalam berumah tangga. Jangan membuat
dikotomi antara "Islam muqarrar" dan "Islam
pola hidup". "Udkhulû fi as- silmi kâffah!". Jangan sampai rahim masisir melahirkan orang-orang yang hanya jenius muqarrar tapi "gagap” menerapkannya
untuk dirinya sendiri.
Keterampilan
lainnya adalah keterampilan ‘takhashshushi’, spesilaisasi. Yang saya maksudkan adalah bagaimana kita, sebagai seorang muslimah, mempunyai keterampilan khusus, seperti halnya Asy-Syifa’ tadi. Misalnya, kita belajar pengobatan alami
sehingga menjadi orang yang bisa dijadikan rujukan dalam hal tersebut; belajar
teknologi atau keterampilan lainnya seperti keterampilan terjemah, menulis,
mengelola bisnis, tata ruang, rias pengantin muslimah, merangkai bunga, dan
lain sebagainya. Hal-hal yang terlihat sederhana ini pada awalnya memang nampak
sepele, namun jika kita serius mendalaminya akan membawa manfaat yang sangat
besar di kemudian hari. Bahkan bisa menjadi washîlah dakwah kepada
masyarakat kelak. Karena konsep masyarakat dalam meletakkan posisi seseorang
adalah berkisar pada prinsip ‘AMBAK’. Apa itu? Yaitu "Apa Manfaatnya Bagiku". Teori psikologi
sederhana ini mengatakan bahwa manusia akan semakin mudah menerima seseorang yang
paling banyak memberikan manfaat bagi dirinya. Maka metode dakwah seperti ini
tentunya cukup efektif untuk memoles dakwah kita bisa diterima masyarakat kelak. Ingat kan
bagaimana Walisongo menyebarkan dakwahnya? Nah, begitulah kira-kira
contohnya.
Keterampilan
lainnya adalah keterampilan bersosialisasi dan beradaptasi dengan sekitar. Hal
ini sangat penting karena kita adalah bagian dari komunitas heterogen yang (tentunya-red) dituntut untuk bisa
menempatkan diri di mana pun dan kapan pun. Tidak hanya sekadar gaul, sebagai seorang muslimah kita juga perlu
berlatih untuk bisa bergaul sambil menerapkan akhlak-akhlak Islami. Tidak
sedikit saya menjumpai mahasiswi yang "malu-malu" dalam bergaul, hanya
mau bersosialisasi dengan sesamanya saja, misalnya saja hanya bergaul dengan
teman se-alamamater saja, atau teman se-daerah, sedangkan terhadap orang di luar
kalangannya pergaulannya hanya sekadarnya saja. Pada mulanya memang hal kecil
dan tidak berdampak, namun sikap seperti ini lambat laun akan menjadi
permasalahan yang akan menyulitkan. Apalagi jika sudah dihadapkan pada kondisi
riil. Bisa-bisa kita dinilai masyarakat sebagai orang yang ekslusif atau
sombong, padahal—ternyata—kita hanya malu
bergaul, wah…
Jadi, mulailah untuk lebih terbuka pada sekitar,
berlatihlah sejak sekarang untuk bisa beradapatasi dengan cepat. Jangan takut
pada perubahan, tetaplah tegar dalam menjalani kehidupan. Karena masa depan
bukanlah milik orang-orang manja dan mudah menyerah, tapi masa depan adalah
milik orang-orang tegar dan pantang menyerah. Di mana pun dan kapan pun,
bergantunglah kepada Allah. Innallâha lâ yughayyiru mâ biqaumin hattâ
yughayyirû mâ bi anfusihim. Wa tazawwadû fainna khaira az-zâd at-taqwâ. Wallâhu'alam.
*Mahasiswi asal Jawa Barat, Tingkat IV Universitas Al-Azhar Kairo, Fakultas Syariah Islamiyah
|