Wednesday
2024-10-16
1:01 AM
Section categories
Analisa [3]
Arabiatuna [1]
Barakatak [2]
Cerpen [1]
Figura [2]
Lenyepaneun [1]
Lintas Budaya [4]
Paguyuban [10]
Resensi [4]
Salam Rumpaka [2]
Serial Kampus [3]
Sorotan Utama [1]
Keputrian [3]
Warta Kita [2]
Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0
Search
Site friends
  • Create your own site
  • My site
    Main » Articles » Keputrian

    Perjuangan tak bertepi
       
        Berbicara tentang wanita seperti mengukur luasnya dunia yang konon katanya tak berujung. Selalu hangat, selalu dicermati, menarik untuk didiskusikan dan tentunya menjadi perdebatan banyak pihak. Bagai permasalahan yang tak pernah tuntas, selalu ada saja pembahasan baru tentangnya. Istilah-istilah baru pun melekat pada kaum wanita: emansipasi, gender, feminisme, dan lain-lain.
        Membahas kaum hawa di tanah arab tentunya berbeda dengan dunia wanita di belahan barat sana, pun dengan wanita di Indonesia tentunya. Berbagai penafsiran lahir untuk seorang wanita; ada yang begitu gigih memperjuangkan nama seorang wanita; ada pula yang keukeuh menyuarakan feminisme, bahkan tak sadar hingga menginjak-injak harga dirinya.
        Maraknya permainan kapitalisme yang dihegemoni oleh tangan-tangan licik yang dengan berbagai cara menjadikan kaum wanita sebagai objek eksploitasi. Tanpa kita sadari, sebagian dari kita ikut mengamini hal tersebut. Feminisme yang digagas oleh kebanyakan wanita di barat sana, bukanlah kiblat yang sepantasnya diterapkan oleh wanita Indonesia. Sebagai muslimah kita punya aturan syariat; sebagai bagian dari wanita Indonesia kita punya adat, norma dan keunikan tersendiri yang perlu dibina, dilestarikan bahkan diperjuangkan.
        Ibu kita, Kartini, yang juga disebut sebagai tokoh wanita Indonesia bukanlah seorang feminis. Apa yang telah diperjuangkannya adalah murni sebuah niat tulus nan suci untuk mengangkat derajat dan kedudukan kaum wanita. Niatnya yang belum terwujud itu lahir jauh sebelum kita mengenal arti feminisme. Kartini dengan keimanannya yang teguh benar-benar memahami arti perjuangannya menjadikan wanita Indonesia selalu melangkah lebih maju.
     
        Seabad sudah usia perjuangan Kartini. Saat ini di Indonesia banyak bermunculan pergerakan-pergerakan wanita; pergerakan-pergerakan itu lahir dari semangat untuk memajukan kaum wanita dari keterpurukan, semangat yang diwariskan Kartini untuk memerangi feodalisme dan kolonialisme Belanda. Kesadaran pergerakan perempuan dalam mempertahankan kemerdekaan adalah sejarah politik bangsa ini juga. Dalam kesadaran tersebut terdapat kepemimpinan yang dapat kita temukan, seperti: kongres, organisasi perempuan dan agenda bersama memperjuangkan kemerdekaan.
        Mungkin tak banyak orang tahu bahwa ketika dicetuskannya Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda, perempuan pun mengadakan kongres yang sama, yang juga diawasi oleh tentara Belanda. Dalam kongres itu dibahas mengenai kemerdekaan dan perjuangan hak-hak perempuan. Sejarah yang kita pahami selama ini hanya memaparkan secara konvensional, pergerakan kaum perempuan dengan kongresnya nyaris tidak pernah kita ketahui.
        Perjuangan seorang Kartini diantaranya dapat kita temukan dalam surat-suratnya untuk menggapai harapan memajukan kaum wanita. "Min Azh-Zhulumât Ila An-Nûr" yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah "Door Duisternis Tot Licht" yang mengalami peyorasi setelah diterjemahkan oleh Armin Pane menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang" merupakan intisari semangat munculnya pergerakan wanita. Surat-surat yang Kartini kirimkan untuk sahabat-sahabatnya di luar negri menjadikan Kartini terkenal dengan kecerdasannya dan diakui banyak pihak.
        Kartini memang masih berjuang; ia belum merasakan hasil dari jerih payah perjuangannya. Lewat surat-suratnya beliau menyampaikan, betapa ia bangga sebagai bagian dari warga Indonesia. Kartini yang mampu menorehkan tinta-tinta emasnya dalam karangan-karangan puisinya, amat menyadari sebuah perubahan walau hanya melalui sebuah pena. Ia menuliskannya dalam bahasa Belanda yang fasih, yang mampu membuat orang-orang yang membacanya tergetar hatinya. Meminjam istilah Sastroatmodjo, "Ia yang mampu menggeliatkan batang ekspresi dengan tulisannya yang sederhana penuh tamsil".
        Berbagai perubahan terjadi. Seiring bergulirnya waktu, dari tahun ke tahun wajah-wajah wanita Indonesia mulai menampakkan binarnya. Pada Februari 2009, dalam Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-80 di JCC, yang diperingati bersamaan dengan Satu Abad Pergerakan Wanita Indonesia 1908-2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi mencanangkan tahun ini sebagai "Tahun Indonesia Kreatif 2009”. Hal ini didasarkan pada fakta yang nyata bahwa kaum wanita Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari warga negara, juga sebagai pejuang bangsa dalam membangun bangsa secara menyeluruh sesuai dengan kodrat dan kemampuannya.
        "Wanita hanyalah sumur, dapur dan kasur". Demikian sebuah adagium kuno berujar. Zaman pun bergulir melepas Orde Lama menuju Orde Baru. Wanita kini bukanlah hanya sumur, dapur dan kasur. Namun kini wanita adalah warna pelangi kemajuan bangsa Indonesia. Munculnya gerakan perempuan yang sempat mampu mencapai puncak langkahnya dengan strategi affirmative action mengupayakan penghapusan diskriminasi gender, kekerasan terhadap perempuan, serta menghormati hak-hak perempuan. Juga kontroversi pengesahan beberapa undang-undang (dalam kacamata.red) pihak kontra UU tersebut yang tentunya perlu disikapi dengan perhatian penuh.
        Ketidaksadaran kaum perempuan menjadikan stereotif perempuan atas eksploitasi perempuan, sehingga membutuhkan perbaikan berbagai aspek yang akhirnya harus dikembalikan kepada fitrah seorang perempuan, kembali berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah.
        Memahami konsep dasar penciptaan kaum hawa, dan mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata kiranya menjadi tugas utama muslimah saat ini sebagai The Agent of Change. Seorang ibu tetaplah madrasah pertama bagi pendidikan anak-anaknya; menanamkan akhlakul karimah dan membimbing generasi muslim menuju insan rabbani demi kemajuan bangsa dan negara.
        Sebagai catatan akhir, sosok Kartini sebagai seorang wanita cerdas, mampu merintis kemajuan perempuan dan bangsa Indonesia, yang didasari keimanan yang teguh terhadap agama, adalah tolok ukur ideal perempuan Indonesia. Bukan hanya peringatan 21 April setiap tahunnya, tapi refleksi nyata yang dibutuhkan kemajuan bangsa ini. Wall âhu a'lam.
     
        

    Category: Keputrian | Added by: fajar (2010-01-28)
    Views: 698 | Rating: 0.0/0
    Total comments: 0
    Name *:
    Email *:
    Code *: