Wednesday
2024-10-16
0:37 AM
Section categories
Analisa [3]
Arabiatuna [1]
Barakatak [2]
Cerpen [1]
Figura [2]
Lenyepaneun [1]
Lintas Budaya [4]
Paguyuban [10]
Resensi [4]
Salam Rumpaka [2]
Serial Kampus [3]
Sorotan Utama [1]
Keputrian [3]
Warta Kita [2]
Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0
Search
Site friends
  • Create your own site
  • My site
    Main » Articles » Lintas Budaya

    Mimpi Dewasa



    Aku terbangun, tertegun dari tidur malamku. Terdengar suara rington sms membawakan lagu romantis milik albumnya Amir Diab. Sejurus kemudian, ‘ku ambil Hp jadulku yang tergeletak di atas kasur di samping tubuhku.
    "My honey” tertera sebagai nama si pengirim yang telah lama tersave di urutan nomer kontak HP-ku. Perlahan mulai kubaca isi pesanya, satu demi satu kata-katanya mulai terbaca, setiap kalimat dan maknanya menambah ritme getar jantungku yang mulai tak menentu. Padahal, sms tentu bukanlah fasilitas komunikasi terbaru bagi kita berdua, bahkan untuk hal yang kurang penting saja, kadang kita bela-belain untuk sesegera mungkin untuk berbagi cerita melalui fasilitas ini.
    Sesaat aku terenyuh membaca isi pesan singkatnya. Suatu kegiatan yang tak asing lagi bagiku sebenarnya. Yaitu, sebuah pesan untuk saling mengingatkan agar kita selalu istiqamah menjalankan Ibadah malam, dikala pagi yang masih terlalu dini yang rutin ia kirimkan kepadaku. Dialah bidadari motivatorku yang selalu membangkitkan gairah sembah sujudku untukNya.
    Sejenak kupandangi seisi kamar sebelum beranjak mengambil air wudlu. Tiba-tiba mataku manatap sebuah figura, terletak diantara PC dan tumpukan buku-buku. Di sana terdapat foto kedua orang tua serta kedua adikku terpampang menatapku dengan penuh senyuman. Perlahaan aku menatapnya dalam-dalam, kuusapi wajah-wajah yang penuh cinta itu satu demi satu, lalu terbayang saat-saat masa kecilku dahulu yang penuh manja namun mereka tetap cinta. Saat-saat aku menangis di Bandara dan semua merarngkulku dengan mata sembab sendu, kecuali si adik kecilku yang baru terlahir karena ia masih terlalu polos untuk merasakan kesedihan dan arti sebuah perpisahan.
    Tak terasa bola-bola keristal meleleh hangat di kedua pipiku, kemudian mataku tertuju pada jas hitam lengkap dengan celana serta kemeja putih yang telah tergantung rapih. Pakaian yang dipersiapkan panitia kecil untuk kukenakan sebagai seragam cinta untuk mengikuti upacara sederhana namun tetap akan terjamin sakral sebagai ikatan cinta abadi yang sesuai dengan tuntunan dan aturan hingga mendapat Ridho dan berkah-Nya.
    Sungguh aku merasa betapa besar anugerah yang telah Allah berikan, kekuatan Cinta-Nya yang terkadang membuat kita seakan sedang di alam mimpi. Rahmat-Nya yang begitu luas, melebihi luasnya lautan dan samudera, hingga hembusan kasih sayang-Nya yang mampu menyatukan dua jenis makhluk yang berbeda, sebagai salah satu sunatullah-Nya.
    Lekas aku dekap foto keluargaku itu erat-erat. Aku pun menangis sesegukan. sungguh sebuah kegiatan yang langka semenjak aku meninggalkan masa kecilku dahulu. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu, ada sedikit kesedihan yang merasuk, mengingat kedua orang tua dan sanak keluarga yang tak bisa hadir mendampingi, tapi perasaan itu cepat-cepat aku tepis karena aku tahu betapa mereka telah sangat meridhai niat suciku ini.
    Aku juga terkadang merasa bersalah sendiri, karena rumah yang telah disewa selama 3 tahun bersama-sama ini, harus mereka relakan untuk tempat tinggal aku dan istriku nanti. "Tapi … Ah, toh ini hanya perpisahan sementara, kapan saja aku masih bisa berkumpul dengan mereka lagi,” gumamku dalam hati.
    Apalagi dulu kita pernah sepakat kalau siapa saja yang duluan nikah, dialah yang berhak untuk tinggal di rumah ini. Walaupun, yaa ... bukan sejenis perjanjian hitam di atas putih, tapi semacam solidaritas persaudaraan untuk mempermudah ibadah pengantin muda.
    Tapi yang paling ‘ga enak lagi sama kang Andi. Dia adalah seniorku di rumah ini, bahkan usianya di negeri ini, 3 tahun lebih dulu dari keberangkatanku. Saat ini beliau sedang menulis program pasca sarjananya. Sementara aku masih duduk di tingkat tiga di fakultas yang sama. Walaupun demikian, beliau adalah orang yang paling dewasa dan bijaksana di rumah ini. Beliaulah yang selalu menampung segala curhatanku saat aku punya permasalahan, bahkan untuk acara pernikahanku ini saja, beliaulah yang paling banyak membantu dan memberikan banyak masukan.
    Hmmm … Disanalah aku menyadari jika ta’bir takdir-Nya siapa yang tahu. Bahkan untuk masalah jodoh saja, tak ada istilah pandang umur dan waktu. Sambil tak sengaja terucap "Maaf Kang Andi, saya mendahului,” gumamku dalam hati.
    Waktu subuh sudah semakin dekat, segera aku bergegas mengambil air wudlu, lalu mulai bertakbir sebagai permulaan shalat tahajud dengan beberapa raka'at. Setiap bacaan, surat demi surat terasa begitu utuh menyentuh kalbu, dalam sujud pertama aku berharap pintu tobat dari segala perbuatan dosa-dosaku baik yang disengaja atau yang tak terasa, kemudian berharap diberikan keyakinan hati dan keistiqamahan serta ikhlas dalam setiap menjalankan roda kehidupan.
    Sujud kedua aku berdoa agar diberi keberkahan umur dan di setiap kesempatan. Berharap agar calon istriku kelak menjadi seorang istri yang solehah seiya dan sekata mendampingiku berjuang di jalan Allah, patuh pada perintah agama dan suami. Ibu dari anak-anakku yang akan lahir sebagai generasi, hingga bila di akhirat nanti menjdi bidadari surgawi.
    Dalam doa-doa panjangku, tak lupa doa buat kebaikan kedua orang tuaku dan juga calon mertua, guru-guru saudara dan teman-temanku seperjuangan, ‘hingga kekuatan agar aku dapat memegang janji setia untuk tidak merokok lagi. Selain untuk menjaga kesehatan, janjji ini telah menjadi salah satu persyaratan yang Nadia pinta saat prosesi lamaran di rumah Ibu Romi tempo hari, seorang staff KBRI, yang tak lain adalah bibinya Nadia.
    Air mataku tak tertahankan lagi, "Hanya engkaulah tempat aku mengadu dan meminta, aku hanya hambamu yang kecil dan rapuh, sungguh tak ada daya dan upaya keculai karena ‘Mu, Ya Allah," pintaku dalam doa.
    Saat diri merasa rapuh dan tak berdaya, tak ada lagi kerasnya hati yang tak berdaya, saat itu pula aku merasa menyatu dengan penuh kekhusyu'an dan penuh pengharapan. Cinta sejati kepada seorang makhluk telah memberi inspirasi yang dalam untuk mencintai-Nya lebih dari segalanya. ***
    Jarum jam menunjukan pukul 6.00 pagi, sisa waktu tinggal 3 jam lagi sebagaimana yang tertera dalam undangan. Rington HP hampir setiap detik berdering. Banyak sms yang masuk baik dari keluargaku di Indonesia maupun teman-temanku di Cairo mengucapkan selamat dan tahniah. Sedarinya aku sudah bersiap-siap menggenakan seragam cinta sederhana lengkap dengan peci hitam lalu berdiri di depan cermin sambil melafalkan lafadz Ijab Qabul buat akad nanti ....
    Tiba-tiba, "San, San ... Woy, subuh ... subuh! Udah jam 6, tuh!!” dengarku samar-samar tak tau dari mana suara itu berasal, karena memang aku masih lulungu. Yang jelas, semuanya hanya mimpi dan aku menyesal, kenapa aku tidur terlalu malam lalu bangun kesiangan.....!?!?!
    Category: Lintas Budaya | Added by: fajar (2010-01-28)
    Views: 781 | Comments: 1 | Rating: 0.0/0
    Total comments: 0
    Name *:
    Email *:
    Code *: