"Ih,
kok gitu sih negaranya?"
"Wah... mending negara kita
dong!"
"Kita
yang lebih baik."
"Wah... negaranya keren, ya (budayanya)... nggak kayak negara kita."
"Negaranya
banyak keunggulannya, sementara negara kita? Memangnya punya yah?"
Ya, kadang kita memandang negara
dari satu sisi atau membandingkan kemajuan satu negara dengan negara lain, seakan-akan
negara yang ia dambakan adalah segalanya. Padahal jika kita telusuri, begitu banyak kelebihan satu negara yang tidak
dimiliki oleh negara lainnya.
Sebagai contoh budaya, bahasa dan suku adalah kelebihan sekaligus faktor
pendukung suatu negara. Ia merupakan cikal bakal bangkitnya negara, bahkan maju
tidaknya suatu negara sangat tergantung pada tiga faktor di atas. Hingga dapat dipelihara, dijaga serta dilestarikan dengan sebaik-baiknya.
Kebudayaan sebuah bangsa tidak
pernah statis. Ia senantiasa dinamis dan mampu beradaptasi secara dialektis dan
kreatif dengan dinamika masyarakat. Adakalanya ia mempengaruhi atau malah
sebaliknya, dipengaruhi oleh masyarakatnya. Kebudayaan mengalir dalam setiap
gerakan, saling pengaruh tanpa akhir dalam denyut nadi kehidupan. Terkadang
arusnya kecil, terkadang besar. Bahkan ia bisa menjadi gelombang besar yang
mempengaruhi kesadaran dan
laku kita. Kalau kini orang berbicara tentang krisis masyarakat yang mendalam,
bukankah ia juga berbicara tentang krisis budaya, krisis nilai, dan krisis kehidupan itu sendiri?!
Mengenai krisis budaya, Taufik
Abdullah memperkenalkan rumusannya menyangkut kemiskinan budaya yang dialami
suatu komunitas masyarakat dalam wacana elite politik dengan sebutan "spiral
kebodohan yang menukik ke bawah". Kebodohan yang dibalas dengan kebodohan akan melahirkan kebodohan lain. Begitu sering kita saksikan di banyak media. Pernyataan itu hanya akan melahirkan
kebodohan baru. Akhirnya, menciptakan semacam spiral kebodohan yang terus menukik
ke bawah.
Sebagai contoh, bangsa yang
miskin budaya akan terus menerus mengklaim budaya bangsa lain tanpa batas. Padahal
jika kita pikirkan, mengklaim budaya bangsa lain adalah awal dari kehancuran
suatu bangsa karena minat terhadap budaya lokal akan memudar dan akan
merenggangnya mitra kepercayaan terhadap negara tersebut di kancah internasional.
.
Lebih dalam lagi Soedjatmoko
mengingatkan kita tentang ancaman kemanusiaan berupa kemiskinan, ledakan
penduduk, dan degradasi lingkungan global yang dampaknya akan dirasakan oleh
suatu bangsa. Ia juga menyebut munculnya fenomena "masyarakat stres"
dan "masyarakat sakit",
yang ditandai oleh sakit mental, kekerasan, penyalahgunaan obat dan kenakalan
remaja. Maka tak heran kalau Soetardji Calzoum Bachri mengajak bangsa kita
dengan lantang: "Wahai bangsaku, keluarlah engkau dari kamus kehancuran
ini. Cari kata! Temukan ucapan! Sebagaimana dulu para pemuda menemukan kata dalam
sumpah mereka." Senada dengan Sartono Kartodirdjo yang mengumandangkan
pentingnya kesadaran sejarah dalam proses pendidikan bangsa. Kuntowijoyo
mengajukan pentingnya transendensi dan humanisasi untuk melawan politisisasi,
sekularisasi, dan komersialisasi budaya.
Betapa pentingnya kita
menghormati dan menjaga budaya yng sudah ada, karena kebudayaan mempunyai
hubungan erat dengan masyarakat dalam suatu bangsa. Menurut Andreas Eppink,
"Kebudayaan ialah keseluruhan pengertian yang mencakup nilai, norma, ilmu
pengetahuan serta struktur-struktur kemasyarakatan, keagamaan selain
penghasilan seni dan intelektual yang membentuk ciri khas sebuah masyarakat."
Pendapat Andreas juga sempat disetujui
oleh Edward B. Taylor yang memandang budaya sebagai satu konsep menyeluruh yang
rumit yang mengandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, tata susila, undang-undang
dan tatanan hidup masyarakat.
Ahli antropologi dari alam
Nusantara, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi pun memegang kebudayaan
sebagai alat penghasil karya seni, rasa dan pencipta di dalam tatanan
masyarakat.
Nah, bagaimana sekarang dengan bangsa yang miskin budaya atau hanya bisa mengklaim budaya lain
dengan alasan budaya instan. Budaya instan yang menganggap bahwa bahagia,
kekayaan, sukses, dan prestasi bisa diraih seperti membalikkan telapak tangan, sebaliknya budaya instan tersebut semestinya harus dilawan dengan budaya yang
memandang bahwa semua itu harus diraih dengan keringat dan air mata.
Budaya-budaya yang menggampangkan penyelesaian persoalan, dengan cara potong kompas dalam kehidupan
sehari-hari, mesti dilawan dengan cara-cara yang lebih beradab.
Prestasi yang diraih dengan
kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus diciptakan
mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan kerja keras.
Kita harus menanamkan pendidikan budaya yang memberi pengertian kepada
anak-anak agar korupsi, perilaku tidak jujur, komersialisasi jabatan, sampai
jual beli gelar aspal, plagiat, atau mencontek adalah contoh budaya instan yang
tidak layak diberi tempat dalam masyarakat. Karena kita hanya menghargai orang
yang bekerja keras. Sebagai contoh, bangsa kita meraih kemerdekaan dengan
perjuangan dan tumpah darah serta deraian air mata, beda sekali dengan negara tetangga
yang miskin budaya, yang kemerdekaannya hanya dikasih oleh ratu dalam sebuah
kado kemerdekaan. Yah,
begini “ke depan cuma bisa jadi bangsa plagiat tanpa bercermin kepada sejarah".
Budaya sangat penting bagi suatu
bangsa, di mana budaya bisa menjadi andalan dan ciri khas dalam tatanan berbangsa dan
bernegara.
Singkatnya, tidak ada alasan
bagi kita untuk memandang rendah bangsa/suku lain yang terbelakang. Dan jelas
tidak ada alasan juga bagi kita untuk memandang rendah diri kita sendiri.
Perbedaan yang muncul bukan disebabkan oleh superioritas/inferioritas pada
tingkatan individu, tetapi lebih jauh hal tersebut berhubungan dengan kondisi
geografis yang harus dihadapi para nenek moyang kita.
Sedangkan di zaman modern ini, perbedaan yang ada antara
negara miskin dan Negara kaya
lebih disebabkan oleh sistem dan budaya yang sudah terbentuk. Tentu saja,
sebagai manusia yang memiliki akal budi, kita memiliki kemampuan untuk merubah
sistem dan budaya yang ada di sekitar kita. Lantas, bagaimana dengan tingkah
laku dan pola pikir suatu
bangsa yang plagiat dan selalu mengedepankan budaya instan? Hemmm.. itu lain cerita..
|