Beliau lahir dan tumbuh besar di Khawarizm, masa kecilnya ia habiskan dengan belajar menghafal dan mendalami al-Quran seperti kebiasaan kebanyakan anak-anak sebayanya. Selanjutnya beliau tertarik dengan ilmu linguistik/bahasa (‘Ilmu al lughoh) dan teologi. Awalnya beliau belajar pada para ulama yang ada di Khawarizm, kemudian banyak berkenalan dengan referensi- referensi induk ilmu bahasa karangan para ulama terdahulu, semisal Kitab Sibawaiyh, al kâmil (Mubarrod), Dalâil al ‘Ijâz wa asror al Balaghoh (Jurjâni), Al bayan wa at Tabyîn wa al Hayawân (Jâhidz), An Nukat fi ‘ijâzi al Quran (‘Ali bin ‘Isa ar rummâni), Naqd as sy’ir (Qudhâmah bin j’afar), dan literatur induk lainnya. Kekagumannya pada ilmu bahasa membuatnya lebih mendalam untuk mempelajarinya dan lebih berorientasi untuk menggelutinya, sehingga sampai mengantarkannya menjadi salah satu jahbadz (pakar) ilmu bahasa. Tidak berlebihan kiranya kalau kita menyebutnya sebagai pakar–atau lebih dari sekedar pakar- dan menyandingkannya dengan nama-nama yang memberikan sumbangsih besar pada Islam dalam ranah disiplin ilmu lainnya, seperti Imam Fakhruddin ar-Râzi pada bidang teologi, Imam Nawawi dalam fiqh, Imam Zamakhsyari atau Imam Suyuti dalam tafsir. Karena setelah ditelisik alur pengkodifikasian ilmu bahasa tidak mandeg karena tertolong oleh beliau lewat karya monumentalnya Miftâhul ‘Ulum. Perjalanan kodifikasi ilmu bahasa sempat stagnan. Dapat ditengarai rentang waktu antara Imam Sibawaih, Imam Jurjani dan Imam Mubarrod ketika mereka lahir dengan masanya Imam Sakkaki terpaut sangat jauh sekali, dalam rentang waktu ini sejauh yang dapat dilacak sedikit ulama yang dapat menghasilkan karya sekelas dan secemerlang Sakkaki. Kitab ini dapat dianggap sebagai salah satu referensi induk ilmu bahasa (‘Ilmu al lughoh) lebih khusus kaitannya dengan ilmu Balaghoh, Nahwu dan Shorof. Sakkaki dalam kitab ini mengulas tuntas persoalan ilmu bahasa. Kitab ini seakan ringkasan apa yang beliau telaah dan cerna dari pembacaanya pada kitab-kitab turats. Dengan briliannya Sakkaki mengklasifikasikan kajian ilmu bahasa pada 3 bahasan. Bahasan pertama tentang shorof, bahasan kedua tentang nahwu dan ketiga tentang balaghoh (‘ilmu al ma’ani wa al bayân). Genre penulisan seperti ini adalah penemuan baru dan sebuah inovasi dalam kodifikasi ilmu bahasa, dengan beraninya beliau menulis karyanya dengan metode baru tidak seperti cara para ulama terdahulu yang terpresentasikan pada kitab-kitab yang telah dulu disebutkan. Bahasan ilmu Balaghoh, Nahwu dan Shorof dalam kitab-kitab tersebut belum terpilah-pilih dan terklasifikasi, tercampur antara satu dengan lainnya. Pengklasifikasian ini menjadikan kajian bahasa semakin mudah dipahami, terbukti selanjutnya bahasan ketiga dalam kitab ini (‘ilmu al ma’ani wa al bayân) dikaji ulang dan disempurnakan oleh Khotib Qouzwaeni lewat Talkhis al Miftah-nya, kemudian kitab ini banyak dikomentari oleh para ulama seperti al Muthowwal (Sa’aduddin at tafthazani), ‘Arus al afroh (Bahauddin as subki). Dan ada pula yang mengubah bahasan ketiga ini dalam bentuk nadzhom seperti Jauhar al Maknun karya Abdurrahman al-Akhdhori. Hingga sekarang hampir tidak ditemukan kitabkitab yang membahas ilmu Balaghoh yang tidak merujuk pada kitab Miftâhul ‘Ulum. Disamping Miftâh al ‘Ulum, Sakkaki juga mempunyai karangan lain, diantaranya Risâlah fi ‘ilmi al munadzarah yang sampai sekarang masih berbentuk manuskrip. Komentar para ulama tentangnya pun beragam, namun semuanya mengindikasikan kekaguman mereka padanya. Namun sayangnya dari prestasi gemilang yang beliau ukir, umat Islam sekarang–termasuk dari mereka yang terpelajar pun-ternyata kurang mengenalinya, hanya segelintir orang saja yang mengenal kehebatannya. Nama-nama seperti Imam Gozhali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dapat dipastikan lebih lekat di telinga mereka, karena mungkin arena yang mereka geluti dipandang lebih concern dan cocok dengan interaksi kehidupan, padahal sebenarnya kajian bahasa tidak kalah menariknya. Tetapi pada masanya nama Sakkaki cukup didengar oleh belahan dunia islam, dalam sejarah putra-putra Khawarizm banyak yang menimba ilmu padanya, Mukhtar bin Mahmud az-zâhid pengarang kitab al-Qunyah tercatat pernah menjadi muridnya. Imam Sakkaki wafat tahun 626 H/ 1229 M ketika berumur 71 tahun, dan dikebumikan di tanah kelahirannya Khawarizm. Semoga Allah SWT membalas jasanya, menjadikan timbangan amal baginya, semoga kita dapat mengenalnya lebih dekat mengapresiasi karya, mengikuti jejak dan meneruskan perjuangannya. Amiin.